My Argument With God

From Iaprojects

Original Article: English

Title: My Argument With God by Ricky Gervais

Source: http://www.rickygervais.com/bestlife.php

I loved Jesus. He was my hero. More than pop stars. More than footballers. More than God. God was by definition omnipotent and perfect. Jesus was a man. He had to work at it. He had temptation but defeated sin. He had integrity and courage. But He was my hero because He was kind. And He was kind to everyone. He didn't bow to peer pressure or tyranny or cruelty. He didn't care who you were. He loved you. What a guy. I wanted to be just like him.

One day when I was about 8 years old, I was drawing the crucifixion as part of my Bible-studies homework. I loved art too. And nature. I loved how God made all the animals. They were also perfect. Unconditionally beautiful. It was an amazing world.

I lived in a very poor, working-class estate in an urban sprawl called Reading, about 40 miles west of London. My father was a laborer and my mother was a housewife. I was never ashamed of poverty. It was almost noble. Also, everyone I knew was in the same situation, and I had everything I needed. School was free. My clothes were cheap and always clean and ironed. And Mum was always cooking. She was cooking the day I was drawing Jesus on the cross.

I was sitting at the kitchen table when my brother came home. He was 11 years older than me, so he would have been 19. He was as smart as anyone I knew, but he was too cheeky. He would answer back and get into trouble. I was a good boy. I went to church and believed in God-what a relief for a working-class mother. You see, growing up where I did, mums didn't hope as high as their kids growing up to be doctors; they just hoped their kids didn't go to jail. So bring them up believing in God and they'll be good and law-abiding. It's a perfect system. Well, nearly. Seventy-five percent of Americans are God-fearing Christians; 75 percent of prisoners are God-fearing Christians. Ten percent of Americans are atheists; 0.2 percent of prisoners are atheists.

But anyway, there I was, happily drawing my hero when my big brother Bob asked, "Why do you believe in God?" Just a simple question. But my mum panicked. "Bob," she said, in a tone that I knew meant "shut up." Why was that a bad thing to ask? If there was a God and my faith was strong, it didn't matter what people said.

Oh...hang on. There is no God. He knows it, and she knows it deep down. It was as simple as that. I started thinking about it and asking more questions, and within an hour, I was an atheist.

Wow. No God. If Mum had lied to me about God, had she also lied to me about Santa? Yes, of course, but who cares? The gifts kept coming. And so did the gifts of my newfound atheism. The gifts of truth, science, nature. The real beauty of this world. Not a world by design, but one by chance. I learned of evolution-a theory so simple and obvious that only England's greatest genius could have come up with it. Evolution of plants, animals, and us-with imagination, free will, love, anti humor. I no longer needed a reason for my existence, just a reason to live. And imagination, free will, love, humor, fun, music, sports, beer, and pizza are all good enough reasons for living.

But living an honest life-for that you need the truth. That's the other thing I learned that day, that the truth, however shocking or uncomfortable, in the end leads to liberation and dignity.

I hope I haven't offended anyone with this article. Okay, that's a lie.

Terjemahan: Bahasa Indonesia

Judul: Perbedaan pendapatku dengan Tuhan oleh Ricky Gervais

Diterjemahkan dari: http://www.rickygervais.com/bestlife.php

Bagaimana saya dari seorang Kristen yang mencintai Yesus menjadi seorang pencinta-kesenangan yang tidak beragama... pada suatu sore

Dulu saya mencintai Yesus. Ia adalah pahlawan saya. Lebih dari artis-artis pop. Lebih dari para pemain bola. Lebih dari Tuhan. Tuhan berarti mahakuasa dan sempurna. Yesus adalah seorang pria. Ia memiliki godaan tetapi mengalahkan dosa. Ia memiliki integritas dan keberanian. Tetapi Ia adalah pahlawan saya karena Ia baik hati. Dan Ia baik kepada semua orang. Ia tidak tunduk pada tekanan bangsawan atau tirani atau kekejaman. Ia tidak perduli siapa dirimu. Ia mencintaimu. Seorang pria sejati. Saya ingin menjadi seperti Dia.

Suatu hari waktu saya berumur 8 tahun, saya sedang menggambar penyaliban sebagai bagian dari tugas rumah untuk pembelajaran-alkitab. Saya juga mencintai seni. Dan alam. Saya suka bagaimana Tuhan menciptakan semua hewan. Semuanya begitu sempurna. Indah tak tercela. Dunia begitu mengagumkan.

Saya hidup dalam lingkungan pekerja yang sangat miskin di bagian kota yang disebut Reading, sekitar 40 mil di barat London. Ayah saya seorang buruh dan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Saya tidak pernah malu akan kemiskinan. Malahan kondisi itu hampir terhormat. Juga, semua orang yang saya kenal berada dalam situasi yang sama, dan saya memiliki semua yang saya butuhkan. Sekolah gratis. Pakaian saya murah dan selalu bersih serta disetrika. Ibu saya selalu memasak. Ia juga sedang memasak di hari ketika saya sedang menggambar Yesus di kayu salib.

Saya sedang duduk di meja dapur saat kakak lelaki saya pulang. Ia 11 tahun lebh tua dari saya, jadi pada saat itu umurnya 19. Dia sama pintarnya dengan semua orang yang saya tahu, namun ia terlalu lancang. Ia akan membangkang dan terjerat dalam kesulitan. Saya seorang anak yang baik. Saya pergi ke gereja dan percaya Tuhan - hal yang melegakan untuk seorang ibu kelas pekerja. Begini, tumbuh di lingkungan seperti saya, para ibu tidak berharap tinggi menginginkan anak mereka menjadi dokter saat dewasa; mereka hanya berharap anak-anak mereka tidak masuk penjara. Sehingga anak-anak dididik untuk percaya pada Tuhan dan mereka akan menjadi baik serta bersahabat dengan hukum. Itu adalah sistem yang sempurna. Yah, hampir sempurna. Tujuh puluh lima persen orang Amerika adalah Kristen yang takut Tuhan; 75 persen narapidana adalah orang Kristen yang takut Tuhan. Sepuluh persen orang Amerika adalah Ateis; 0.2 persen narapidana adalah ateis.

Tapi bagaimanapun, disanalah saya, dengan gembira menggambar pahlawan saya ketika kakak saya Bob bertanya, "Kenapa kamu percaya Tuhan?" Hanya pertanyaan sederhana. Tetapi ibu saya panik. "Bob," serunya, dalam nada yang saya tahu maksudnya adalah "diam." Mengapa pertanyaan tersebut buruk? Kalau Tuhan memang ada dan iman saya kuat, tidak jadi masalah apapun yang orang katakan.

Oh.. tunggu dulu. Tuhan itu tidak ada. Kakak saya tahu itu, dan ibu saya pun tahu jauh di dalam hatinya. Sesederhana itu. Saya mulai berpikir dan bertanya lebih banyak, dan dalam satu jam saya menjadi ateis.

Wow. Tidak ada Tuhan. Jika ibu telah berbohong kepada saya tentang Tuhan, apakah dia juga telah berbohong soal Santa? Ya, tentu saja, tapi siapa perduli? Hadiahnya tetap ada. Begitu pula dengan hadiah ateisme baru saya. Hadiah itu berupa kebenaran, sains, alam. Keindahan sesungguhnya dunia ini. Bukan dunia yang dirancang, tetapi yang terjadi secara kebetulan. Saya mempelajari evolusi - sebuah teori yang sangat sederhana dan nyata yang hanya seorang Inggris yang paling jenius yang dapat memikirkannya. Evolusi tumbuhan, binatang, dan kita - dengan imajinasi, keinginan, cinta, dan humor. Saya tidak lagi perlu alasan atas keberadaan saya, hanya sebuah alasan untuk hidup. Dan imajinasi, keinginan, cinta, humor, kesenangan, musik, sports, bir, dan pizza sudah merupakan berbagai alasan yang cukup untuk hidup.

Tetapi menjalani hidup yang jujur - untuk itu kamu perlu kebenaran. Itulah hal lain yang saya pelajari hari itu, bahwa kebenaran, bagaimanapun mengejutkan atau tidak mengenakkan, pada akhirnya akan membawa kepada kebebasan dan kehormatan.

Saya harap saya tidak menyinggung siapapun dengan artikel ini. Baiklah, itu bohong.


Catatan Tambahan (dari penerjemahan)

  • tulis keterangan tambahan di sini
Personal tools