Kehendak Bebas/ Freewill

From Iaprojects

Title: Skepdic.com - Kehendak Bebas

Source: http://skepdic.com/freewill

Kehendak bebas kira-kira terletak di pre-frontal cortex, dan kita dapat menurunkannya ke ventromedial pre-frontal cortex. -Stephen Pinker, How the Mind Works Kita tidak memiliki kemauan bebas, melainkan kita memiliki ketidakmauan bebas. - Richard Gregory (dikutip di Consciousness: An Introduction, hal 131)

Kehendak bebas adalah sebuah konsep dalam filsafat tradisional yang digunakan untuk menunjukkan keyakinan bahwa perilaku manusia tidak mutlak ditentukan oleh penyebab eksternal, namun merupakan hasil pilihan yang dibuat melalui sebuah aksi kehendak oleh pelaku. Pilihan seperti ini tidak ditentukan oleh penyebab eksternal, namun ditentukan oleh motif dan intensi agen. Motif dan intensi ini juga tidak mutlak ditentukan oleh penyebab eksternal.

Secara tradisional, mereka yang menolak eksistensi kehendak bebas akan melihat pada kekuatan supernatural atau penyebab material sebagai penentu perilaku manusia. Pendukung kehendak bebas atau kadang disebut kaum liberal, yakin bahwa jika segala hal di dunia ini menerima konsekuensi tak terelakkan dari kekuatan eksternal, maka perilaku manusia adalah unik dan ditentukan oleh si agen, bukan oleh Tuhan atau susunan bintang atau hukum alam.

Konsep tradisional kehendak bebas memasuki arus utama filsafat barat dalam pertanyaan metafisis tentang tanggung jawab manusia terhadap perilaku moral. Banyak debat modern tentang kehendak bebas sering berlangsung dalam term tanggung jawab atas perilaku moral dan kriminal. Dalam tradisi Kristen, yang membatasi topik di sekitar kehendak bebas, keyakinannya digantungkan pada keyakinan metafisis dalam realitas non fisik. Kehendak dilihat sebagai fakultas jiwa atau pikiran, yang dianggap berdiri diluar dunia fisik dan hukum-hukumnya. Oleh sebab itu, bagi banyak orang, keyakinan akan materialisme diambil untuk menolak kehendak bebas.

Pandangan modern tentang determinisme dan kehendak bebas tidak melihat dua konsep sebagai mutualisme eksklusif. Pandangan ini mulai terlihat bentuknya dengan argumen seperti yang ditawarkan oleh Thomas Hobbes (Leviathan, xxi). Tuhan adalah penyebab utama segala tindakan, kata Hobbes, namun sejauh seseorang tidak secara fisik dipaksa mengambil sebuah tindakan, tindakan tersebut bebas. Hobbes menegaskan argumennya dalam term kebebasan vs keharusan, ketimbang kehendak bebas vs kehendak yang ditentukan secara eksternal. Pendapat yang setuju dengan serangkaian penyebab akan menyebut seseorang yang jatuh dari tebing karena angin, sebagai orang yang telah tertuju pada kejadian yang merupakan akibat lumrah dari serangkaian penyebab. Seseorang yang melompat dari tebing juga memiliki serangkaian penyebab yang membuatnya melompat. Namun jika orang tersebut tidak sedang dikejar dan melompat tanpa penyebab material yang mendesakkan lompatan, maka tindakan tersebut adalah salah satu kebebasan.

Pandangan Hobbes menunjukkan kemajuan atas penerimaan materialisme, determinisme dan kehendak bebas, namun tidak terlalu memuaskan. Jika boleh ada kasus bahwa materialisme dan determinisme tidak berarti manusia tidak memiliki kebebasan metafisis, hal ini tidak menunjuk pada topik sebab-sebab penentu yang internal. Hal ini tidak seperti argumen materialis modern bahwa bagaimanapun keadaan neurokimiawi seseorang, jika ia tidak dipaksa melompati tebing, namun melompat juga, tindakan tersebut merupakan salah satu kebebasan.

Pandangan modern, yang tidak melihat kontradiksi antara meyakini kehendak bebas dan materialisme, akan menegaskannya dalam term neurologis. Topik penting yang muncul dari debat tentang kehendak bebas/determinisme adalah topik tentang tanggung jawab atas tindakan seseorang. Tanggung jawab memiliki dua komponen penting: kontrol dan pemahaman. Bahkan filsuf Kristen mula-mula, seperti Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas, sependapat bahwa bayi, anak kecil, idiot dan imbisil tidak kurang memiliki kontrol dan pemahaman, bukan kekurangan entitas metafisis yang diperlukan untuk bertindak bebas. Jelas absurd bila menerapkan kehendak bebas kepada bayi, anak-anak atau orang gila. Kaum liberal tradisional berpendapat bahwa hanya ketika anak-anak telah "cukup umur" maka kehendak bebas berlaku. Bagi siapapun yang tidak mencapai pikiran rasional dewasa, kehendak bebas tidak berlaku.

Seluruh konsep tentang pujian dan cercaan, hukuman dan hadiah, bergantung kepada keyakinan akan tanggung jawab manusia. Seseorang yang mengalami cedera otak atau hambatan perkembangan otak atau gangguan neurokimiawi, tidak bertanggungjawab atas pikiran atau tindakannya, jika kondisi yang menyebabkan dirinya tidak mampu memahami atau menguasai diri. Mampu menguasai perilaku seseorang bukanlah merupakan syarat cukup untuk memintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Orang yang sakit mental atau terbelakang atau anak-anak mungkin tidak memahami konsekuensi tindakan mereka, meskipun mampu menguasai perilakunya. Ketidakmampuan memahami kodrat tindakan membebaskan seseorang dari tanggung jawab atas tindakannya, jika bukan atas perilakunya. Contohnya, seseorang mungkin ingin melompat dari tebing tapi tidak bermaksud bunuh diri. Dia bertanggungjawab atas lompatannya, tapi keliru jika menganggapnya berniat bunuh diri jika dia mengira bisa terbang dan tidak bermaksud membunuh dirinya.

Karena perkembangan, kerusakan dan gangguan otak memiliki berbagai tingkatan, tentu saja pemahaman dan kontrol atas pikiran dan tindakan juga memiliki berbagai tingkatan. Pada ekstrim yang satu, seseorang mungkin tidak memiliki atau memiliki sedikit kontrol atas pikiran atau tindakannya. Orang seperti ini, menjadi contoh kasus paradigmatik orang yang kurang memiliki kehendak bebas . Pada ekstrim yang lain, seseorang nampaknya memiliki kemampuan kontrol atas pikiran dan perbuatannya seperti manusia super. Orang yang memiliki kedisiplinan mandiri seperti ini merupakan orang bebas dalam pengertian metafisis. Klaim bahwa seseorang sungguh-sungguh bebas tidak terikat oleh hukum sebab akibat adalah absurd dan tidak perlu. Dia absurd karena dia mensyaratkan tindakan bebas untuk menjadi tindakan tanpa sebab. Untuk itu, orang yang sungguh-sungguh bebas adalah orang yang tidak memiliki pola atas apa yang hendak dia pikirkan atau perbuat. Orang seperti ini sama tidak bebasnya dengan seseorang yang bisa membayangkannya.

Fokus debat akhir-akhir ini atas tanggung jawab manusia terletak pada kapasitas untuk mengontrol pikiran dan tindakan seseorang, ketimbang pada kehadiran atau ketidakhadiran metafisis akan entitas nonfisik bersama kehendak. Determinisme kompatibel dengan kehendak bebas, meskipun istilah itu seharusnya dibatalkan untuk menunjukkan bahwa topiknya adalah kapasitas seseorang untuk mengontrol pikiran dan tindakan seseorang. Kapasitas tersebut independen dari kebenaran materialisme ataupun dualisme. Kondisi neurofisis dan neurokimiawi tertentu harus ditetapkan sebelum seseorang dapat menikmati kebebasan yang mampu dia raih. Pemahaman yang lebih baik atas topik ini tidak akan datang dari perdebatan filsuf tradisional tentang kehendak bebas vs determinisme. Ilmuwan syaraf yang akan menyediakan pengetahuan, filsuf syaraf yang menyediakan pemahamannya.

Personal tools