Cocologi Big Bang

From Iaprojects

Cocologi: Big Bang

Ditulis oleh Studens Philosophiae

Salah satu klaim yang paling sering diajukan adalah bahwa di Al-Qur’an terdapat rujukan kepada Big Bang. Ayat yang digunakan adalah QS Al-Anbiyaa’: 30 yang berbunyi sebagai berikut:

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit (السَمَاوَاتِ)dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu (رَتقاً), kemudian Kami pisahkan (فَفَتَقنَا) antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”

Mereka berargumen bahwa deskripsi terpadunya bumi dan langit kemudian terpisah itu sesuai dengan Big Bang. Langit mereka terjemahkan sebagai alam semesta sementara bumi diterjemahkan sebagai planet bumi.

Pertama-tama, kita ketahui dulu apa itu Big Bang. Big Bang adalah salah satu model kosmologi yang paling umum diterima dalam disiplin ilmu astrofisika saat ini. Big Bang mempostulasikan bahwa alam semesta bermula pada sebuah singularitas yang kemudian mengembang (inflasi) yang lambat laun menghasilkan alam semesta sebagaimana yang kita observasi sekarang ini.

Kedua, kita analisis ayat yang diklaim mengandung informasi tentang Big Bang.

Dari segi leksikologis, kita akan menganalisis tiga kata kunci, yakni ‘samaawaat’, ‘ratq’, dan ‘fataqnaa’.

Kata ‘samaawaat’ adalah bentuk jamak dari ‘samaa’’, yaitu ‘langit’. Kata ini juga digunakan sebagai rujukan untuk sesuatu yang berada di paling atas dan sering digunakan untuk merujuk kepada langit-langit di atas rumah. Jadi, tidak sah untuk menerjemahkannya sebagai ‘alam semesta’ karena bumi adalah bagian dari alam semesta dan mustahil bumi dipisahkan dari alam semesta. Yang benar adalah menerjemahkannya sebagai langit.

Perlu diperhatikan bahwa ‘langit’ dalam bahasa Arab Klasik (bahasanya Al-Qur’an) merujuk kepada suatu struktur seperti lempeng kubah yang tinggi di atas bumi. Salah satu indikasinya adalah etimologi kata ‘samaa’ itu sendiri sebagaimana yang dipaparkan di atas (samaa’=bagian teratas=langit-langit). Masih banyak indikasi-indikasi lain yang tersebar dalam ayat-ayat lain yang memperkuat kesimpulan ini.*

(*) QS Al-Anbiyaa’: 32 langit disamakan dengan atap seakan-akan langit itu adalah benda; QS Al-Mulk:3 dan QS Qaf:6 menanyakan ada tidaknya keretakan/kecacatan pada langit seakan-akan langit itu benda; QS Al-Anbiyaa’:104 dan QS Al-Zumar:67 menyatakan di Hari Kiamat langit digulung seperti kertas. (tidak perlu dijelaskan lagi)

Sementara seperti yang kita ketahui, yang kita namakan sebagai langit itu sebenarnya adalah ilusi mata kita yang melihat penyebaran spektrum cahaya pada atmosfer bumi ketika siang hari serta posisi kita yang berdiri di permukaan bumi sehingga seakan-akan yang kita lihat di atas itu adalah suatu benda homogen yang menempel padanya matahari, bulan dan bintang-bintang.

Kata ‘ratq’ itu adalah verbal noun dari kata kerja ‘rataqa’. ‘Rataqa’ bermakna ‘menjahit/menambal dua helai pakaian’, maka verbal nounnya ‘ratq’ bermakna ‘keadaan dua benda terjahit/tertambal/tertutup rapat satu sama lain’. Hal ini berimplikasi bahwa terdapat dua benda yang tidak saling homogen saling berhimpit antara satu sama lain. Begitu juga dengan kata ‘fataqnaa’ (kami pisahkan), yang bermakna ‘membuka jahitan’, ‘membelah’, ‘mematahkan jadi dua’. Penggunaan dua kata ini juga memperkuat pendapat di atas yang mengisyaratkan langit itu bagaikan benda padat yang terhimpit dengan bumi sementara keduanya tidak saling homogen.

Jelas dari analisis leksikologis ini bahwa ayat di atas tidak bisa disamakan dengan Big Bang karena dalam kejadian Big Bang, bumi itu sendiri belum ada lantaran materi pun belum ada. Ketimpangan ini diperparah lagi dengan merujuk langit sebagai benda.

Seakan belum cukup saja, secara tafsiriyyah/eksegetik, justru memperkuat kesimpulan dari analisis leksikologis di atas.

Tafsir Ibnu Kathir menjelaskan Al-Anbiyaa' ayat 30 sebagai berikut:

Sufyan Ath-Thawri meriwayatkan dari ayahnya dari `Ikrimah bahwa Ibn` Abbas bertanya, "Apakah malam datang pertama atau hari? Dia berkata," Apakah Anda berpikir bahwa ketika langit dan bumi disatukan, tidak ada sesuatu yang antara mereka kecuali kegelapan? Dari demikianlah Anda dapat tahu bahwa malam datang sebelum hari itu."

Dari riwayat Sufyan tersebut, dapat disimpulkan bahwa karena dulu langit dan bumi saling berhimpit, maka tidak ada cahaya. Namun setelah dipisahkan, maka ada cahaya. Ini memperkuat kesimpulan leksikologis di atas. Ibnu Abi Hatim mencatat bahwa Ibnu Umar mengatakan bahwa seorang pria datang kepadanya dan menanyakan tentang kapan langit dan bumi disatukan kemudian mereka berpisah.

Dia berkata, "Pergilah ke orang tua(Syaikh) itu dan bertanya kepadanya, lalu datang dan katakan padaku apa yang dia katakan kepada Anda

Maka ia pergi ke Ibnu Abbas dan bertanya kepadanya Ibnu` Abbas mengatakan:.. "Ya, langit dahulu satu padu dan tidak ada hujan, dan bumi itu dahulu satu padu dan tidak ada tumbuhan. Ketika makhluk hidup diciptakan untuk mengisi bumi, hujan datang dari langit dan vegetasi datang dari bumi Pria itu kembali ke Ibnu 'Umar dan menceritakan apa yang telah dikatakan.. Ibnu Umar berkata, "Sekarang aku tahu bahwa Ibnu Abbas telah diberikan Allah pengetahuan tentang Al Qur'an, ia telah mengatakan kebenaran, dan ini adalah bagaimana hal itu

Ibnu Umar berkata.." Saya tidak suka sikap berani Ibnu Abbas dalam Tafsirnya terhadap Al Qur'an, tetapi sekarang Aku tahu bahwa ia telah diberi pengetahuan tentang Al-Qur'an**

Dari riwayat Ibnu Hatim ini, dapat disimpulkan bahwa lantaran dulu langit dan bumi saling berhimpit, maka tumbuhan tidak bisa tumbuh karena tidak ada ruang ke atas dan hujan tidak bisa turun karena tidak ada ruang ke bawah. Ini lagi-lagi memperkuat kesimpulan leksikologis di atas.

(**) Perlu diperhatikan bahwa para ulama Salaf (generasi paling awal Islam) paling benci/takut melakukan takwil dan tafsir karena mereka takut menyelewengkan makna yang dikehendaki oleh Allah. Fakta bahwa Ibnu Umar justru setuju dengan penjelasan Ibnu Abbas berarti dapat dengan cukup akurat disimpulkan itulah makna yang yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Ibnu Abbas sendiri adalah Sahabat yang paling fasih dalam ilmu agama dan beliau belajar langsung dari Nabi Muhammad.

Sa`id bin Jubair berkata:" Langit dan bumi itu dulu melekat satu sama lain , maka ketika langit ditinggikan/dinaikkan, bumi menjadi terpisah darinya, dan ini adalah perpisahan mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Kitab-Nya Riwayat dari Sa’id ini memperkuat kesimpulan leksikologis di atas sekaligus menambah detil baru. Cara langit dan bumi dipisahkan adalah dengan cara meninggikan langit dari bumi sebagaimana tenda dinaikkan dari bumi. Detil ini pun terdapat juga di Al-Qur’an pada surah dan ayat lain. (QS 13:2, QS 88:18)

Al-Hasan dan Qatadah berkata, "Mereka(langit & bumi) dulu bergabung bersama-sama., kemudian mereka dipisahkan oleh udara ini.

Dari riwayat kedua perawi ini, dapat disimpulkan hal yang sama dengan dua riwayat sebelumnya dan dengan analisis leksikologis di atas.

Jadi secara keseluruhan dari dua disiplin ilmu di atas (leksikologi dan eksegesis) dapat disimpulkan dengan poin-poin berikut ini:

  1. Al-Qur’an memandang langit sebagai suatu benda dan bumi sebagai suatu benda pula, keduanya dulu berhimpit kemudian dipisahkan sehingga langit menjadi atap dan bumi sebagai hamparan di bawahnya.
  2. Samaa’ tidak merujuk kepada alam semesta. Konsep ‘samaa’ itu adalah suatu kubah padat bagaikan atap tempat bintang digantung sebagai lampu dan tempat matahari dan bulan beredar mengelilingi bumi.
  3. Ayat ini setelah diperiksa dengan baik dan objektif ternyata tidak sesuai dengan Big Bang.

Sumber-sumber

Personal tools